JOMBANG,  tjahayatimoer.net — Sunyi yang mencurigakan menyelimuti sebuah pabrik plastik di Jombang. Di balik dinding industri itu, satu nyawa diduga melayang akibat sengatan listrik saat bekerja. Ironisnya, peristiwa yang seharusnya memicu olah tempat kejadian perkara (TKP) justru diduga disamarkan, disembunyikan, dan tak pernah sampai ke telinga aparat penegak hukum (APH).

Korban berinisial R, seorang karyawan pabrik plastik, disinyalir meninggal di lokasi kerja akibat sengatan listrik pada Minggu (7/12/2025) dini hari. Namun fakta itu baru mencuat enam hari kemudian, saat narasumber menyampaikan informasi kepada awak media pada Sabtu (13/12/2025). Jeda waktu yang janggal ini memantik pertanyaan besar: siapa yang berkepentingan menutup rapat kematian seorang pekerja?

Penelusuran awak media ke lokasi pabrik tak membuahkan kejelasan. Pihak pabrik diduga sengaja menghindar, menutup pintu informasi, dan enggan memberikan keterangan. Hingga berita ini diturunkan, tak satu pun perwakilan pabrik bersedia ditemui. Sikap bungkam itu kian menguatkan dugaan bahwa ada upaya sistematis menutupi peristiwa kematian agar olah TKP tak pernah terjadi.

Lebih mencengangkan, Polsek dan Polres Jombang disebut tidak mengetahui adanya kejadian tersebut. Jika benar, ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan indikasi serius pembiaran atau pelaporan yang sengaja tidak dilakukan. Peribahasa berkata, “api tak mungkin tertutup abu”—namun dalam kasus ini, abu industri tampak berusaha menelan api kebenaran.

Kematian di tempat kerja bukan peristiwa biasa. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja mewajibkan perusahaan menjamin keselamatan tenaga kerja dan melaporkan kecelakaan kerja. Selain itu, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan ketentuan K3 menegaskan tanggung jawab pengusaha atas perlindungan pekerja. Jika pelaporan sengaja diabaikan, maka patut diduga terjadi pelanggaran hukum yang tidak ringan.

Sikap diam pihak pabrik justru mempertebal kecurigaan bahwa standar K3 tidak diterapkan secara layak. Apakah instalasi listrik aman? Apakah prosedur kerja dipatuhi? Atau keselamatan hanya jargon di dinding pabrik, sementara nyawa pekerja dianggap ongkos produksi?

Satu nyawa mungkin tak tercatat dalam neraca perusahaan, tetapi bagi keluarga korban, kehilangan ini adalah luka seumur hidup. Menyembunyikan kematian pekerja sama saja membunuh kebenaran untuk kedua kalinya. Pepatah lama mengingatkan, “bangkai gajah tak mungkin ditutup daun.” Kematian ini menuntut keadilan, bukan keheningan.

APH didesak segera turun tangan, memanggil pihak pabrik, membuka kembali kronologi, melakukan penyelidikan menyeluruh, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Negara tidak boleh kalah oleh tembok pabrik. Jika benar ada upaya menutup-nutupi, maka hukum harus berbicara lantang—demi satu nyawa yang telah pergi, dan ribuan pekerja lain yang masih menggantungkan hidupnya pada keselamatan yang semestinya dijamin.