KEDIRI, – Kejahatan pencurian sepeda motor (curanmor) di Kediri sepanjang 2025 tak lagi bisa dipandang sebagai kriminalitas kelas jalanan semata. Ia telah bertransformasi menjadi fenomena sosial-ekonomi yang kompleks: berangkat dari dapur rumah tangga yang tak mengepul, berujung pada kejahatan berulang, dan dipercepat oleh teknologi digital.
Kasatreskrim Polres Kediri Kota AKP Cipto Dwi Leksana secara gamblang menyebut, motif ekonomi masih menjadi akar utama. “Mayoritas karena motif ekonomi,” ujarnya. Tekanan kebutuhan hidup mendorong sebagian orang nekat merampas hak orang lain, menjadikan sepeda motor sebagai sasaran empuk.
Data Jawa Pos Radar Kediri menunjukkan, curanmor tergolong marak di 2025. Pelakunya lintas usia, dari remaja hingga dewasa. Ironisnya, sebagian merupakan residivis—bahkan ada yang tercatat sudah empat kali keluar-masuk jeruji dengan kasus serupa. Seolah penjara bukan akhir, melainkan jeda.
Yang membuat kejahatan ini semakin “modern” adalah pergeseran pola penjualan barang curian. Jika dulu motor curian dipreteli dan dijual di lokasi-lokasi tertentu, kini cukup dipajang di dunia maya. Facebook menjadi lapak favorit—mudah, cepat, dan menjangkau semua kalangan. Teknologi, yang semestinya memudahkan hidup, justru dipelintir menjadi akselerator kejahatan.
Padahal, jerat hukum jelas tersedia. Pelaku curanmor bisa dikenai Pasal 362 atau 363 KUHP dengan ancaman 7 hingga 9 tahun penjara. Penadah pun terancam Pasal 480 KUHP, maksimal 4 tahun. Namun keras di atas kertas, lunak di praktik. Hukuman yang dijatuhkan dinilai belum menimbulkan efek jera.
Praktisi hukum Kediri, Nurbaedah, menyebut ada jarak menganga antara hukum tertulis dan realitas penegakan. “Implementasinya belum mencerminkan legal justice, social justice, dan moral justice,” tegasnya. Disparitas hukuman memicu rasa ketidakadilan di masyarakat. Yang kuat kerap terasa kebal, yang lemah mudah dijerat.
Ia juga menyoroti kegagalan pembinaan narapidana. Banyak yang bebas, namun kembali mencuri. “Kalau perlu putusan harus tinggi. Jangan sampai dianggap ringan, sehingga pengulangan terus terjadi,” ujarnya tajam.
Di sisi lain, aparat kepolisian tak menutup mata pada kendala teknis. Minim saksi, lokasi kejadian yang sepi—seperti persawahan—hingga ketiadaan CCTV, kerap menghambat pengungkapan. Kapolres Kediri AKBP Bramastyo Priaji melalui Kasi Humas Iptu Yusi Baiti menegaskan, tanpa saksi dan CCTV, pencarian pelaku menjadi jauh lebih sulit.
Namun, komitmen penegakan hukum tetap ditegaskan. Polisi juga menekankan pencegahan sebagai kunci, dan itu bukan hanya tugas aparat. Kelalaian masyarakat—tidak mengunci ganda, meninggalkan kunci di motor, atau parkir sembarangan—kerap membuka “karpet merah” bagi pelaku. Niat jahat, kata polisi, sering lahir dari kesempatan.
Fenomena curanmor di Kediri hari ini adalah cermin buram: ekonomi menekan, teknologi mempermudah, hukum belum menakutkan. Selama ketiganya tak dibenahi secara serius, curanmor akan terus berulang—seperti lingkaran setan yang menelan rasa aman warga. Sosial media pun bukan sekadar ruang berbagi cerita, tapi juga etalase kejahatan yang menunggu pembeli.(red.al)
.webp)
0 Komentar