Jakarta, tjahayatimoer.net — Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), akhirnya angkat bicara menanggapi isu dugaan penggelembungan anggaran dalam proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung atau Whoosh. Jokowi menegaskan bahwa pembangunan moda transportasi tersebut dilakukan untuk menjawab persoalan kemacetan parah yang selama ini melanda wilayah Jakarta, Bandung, dan sekitarnya.

“Harus dilihat dulu masalah utamanya. Jakarta dan Jabodetabek sudah macet berat sejak puluhan tahun lalu, begitu juga Bandung. Maka dibutuhkan transportasi massal yang cepat dan efisien,” ujar Jokowi di kawasan Kota Barat, Solo, Senin (27/10).

Menurutnya, kemacetan di wilayah Jakarta dan Bandung menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Ia memperkirakan, kerugian akibat waktu terbuang dan produktivitas yang menurun bisa mencapai lebih dari Rp100 triliun per tahun.

“Kalau di Jakarta saja sekitar Rp65 triliun, ditambah Bandung dan Jabodetabek totalnya bisa di atas Rp100 triliun per tahun,” katanya.

Jokowi menjelaskan, kehadiran Whoosh bersama moda transportasi massal lainnya seperti MRT, LRT, dan KRL, diharapkan dapat menekan kerugian ekonomi tersebut serta meningkatkan efisiensi mobilitas masyarakat.

Transportasi Massal Bukan Sekadar Soal Laba

Presiden menekankan bahwa proyek transportasi publik tidak seharusnya dinilai hanya dari sisi keuntungan finansial, melainkan juga dari dampak sosial yang dihasilkan.

“Transportasi massal itu layanan publik. Keuntungannya bukan hanya uang, tapi juga pengurangan polusi, peningkatan produktivitas, dan efisiensi waktu. Itulah social return on investment yang perlu dipahami,” tutur Jokowi.

Ia mencontohkan, subsidi yang diberikan pemerintah untuk MRT Jakarta bukan merupakan kerugian, melainkan bentuk investasi jangka panjang bagi masyarakat. “DKI Jakarta saja menyubsidi MRT sekitar Rp800 miliar per tahun. Kalau semua jalur sudah selesai, mungkin sekitar Rp4,5 triliun. Itu investasi untuk masa depan,” jelasnya.

Optimistis Kinerja Whoosh Membaik

Menanggapi pertanyaan soal potensi kerugian proyek Whoosh, Jokowi tidak memberikan jawaban spesifik. Namun, ia optimistis kinerja keuangan proyek tersebut akan semakin baik seiring meningkatnya jumlah penumpang.

“Sekarang saja Whoosh sudah melayani sekitar 19 ribu penumpang per hari, total 12 juta penumpang sejauh ini. Kalau trennya terus naik, tentu beban kerugian akan semakin kecil,” ujarnya.

Jokowi juga memperkirakan indikator keuangan seperti Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization (EBITDA) akan berangsur positif dalam beberapa tahun ke depan, tergantung pada seberapa besar masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum.

Isu Penggelembungan Biaya

Sebagai informasi, proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung memiliki nilai investasi mencapai US$7,2 miliar atau sekitar Rp116,5 triliun (kurs Rp16.186 per dolar AS). Angka ini lebih tinggi dari tawaran awal China sebesar US$6,07 miliar atau sekitar Rp86,6 triliun.

Sekitar 75 persen pendanaan proyek berasal dari pinjaman China Development Bank, sedangkan sisanya berasal dari konsorsium pemegang saham, yakni PT KAI, Wijaya Karya, PTPN I, dan Jasa Marga.

Kenaikan biaya proyek ini sebelumnya menimbulkan perdebatan publik terkait beban utang dan dugaan mark up. Mantan Menko Polhukam Mahfud MD bahkan menyebut dalam video yang diunggah di kanal YouTube-nya, Mahfud MD Official (14 Oktober 2025), bahwa terdapat indikasi penggelembungan biaya pembangunan.

“Menurut hitungan pihak Indonesia, biaya per kilometer Whoosh mencapai 52 juta dolar AS, sedangkan di China hanya sekitar 17–18 juta dolar. Artinya ada kenaikan hampir tiga kali lipat,” kata Mahfud dalam video tersebut.

Meski demikian, Jokowi menegaskan bahwa proyek transportasi publik seperti Whoosh harus dipandang sebagai investasi strategis jangka panjang yang memberi manfaat luas bagi masyarakat dan negara, bukan semata dari sisi keuntungan finansial.(red.al)