Jakarta, tjahayatimoer.net     – Dalam dunia strategi, posisi adalah segalanya. Hal ini sejalan dengan ajaran klasik Sun Tzu dalam Art of War, yang menekankan pentingnya memahami posisi diri dan lawan untuk memenangkan pertempuran. “If you know your enemy and know yourself, you need not fear the result of a hundred battles.”

Menurut Sun Tzu, pasukan yang menempati posisi strategis akan lebih sulit dikalahkan. Sejarah pun mencatat, kemenangan kerap berpihak pada mereka yang pandai menentukan posisi—seperti pasukan Vietcong dalam Perang Vietnam atau kekalahan pasukan Islam dalam Perang Uhud akibat kelengahan meninggalkan posisi strategis.

Positioning di Dunia Politik dan Bisnis

Strategi posisi atau positioning ini tak hanya berlaku di medan perang, tapi juga di dunia bisnis dan politik. Al Ries dan Jack Trout dalam Positioning: The Battle for Your Mind (1980) menyatakan bahwa di era informasi melimpah, keunikan dan relevansi terhadap kebutuhan konsumen adalah kunci. Produk atau tokoh yang tidak memiliki ciri khas dan tidak fokus akan tenggelam dalam persaingan.

Hal ini juga berlaku dalam politik. Seorang calon pemimpin tanpa keunikan, ide yang kuat, dan relevansi dengan kebutuhan rakyat, niscaya akan gagal merebut perhatian pemilih—meskipun bergelar S3 atau dikenal sebagai pakar.

Prabowo dan Strategi Perubahan Posisi

Transformasi Prabowo Subianto adalah contoh nyata keberhasilan strategi positioning. Pada Pilpres 2014 dan 2019, ia tampil sebagai simbol oposisi. Namun pada 2024, Prabowo mengubah haluan menjadi bagian dari koalisi pemerintahan Jokowi. Strategi ini tidak hanya mempertahankan basis pendukung lamanya, tapi juga merangkul mayoritas pemilih Jokowi.

Positioning Prabowo pun jadi unik. Di saat Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo cenderung mengambil peran oposisi, Prabowo tampil sebagai figur tengah yang menyatukan kutub politik. Fokus kampanyenya pun sederhana namun kuat: program makan gratis, yang langsung menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.

Gaya Komunikasi Politik yang Berbeda

Positioning Prabowo sebagai pemersatu berbanding terbalik dengan era Jokowi, yang saat itu mengandalkan pendukung garis keras untuk mempertahankan kekuasaan. Jokowi memerlukan tokoh-tokoh "petarung" seperti Ali Mochtar Ngabalin untuk menghadapi oposisi secara frontal.

Sebaliknya, Prabowo saat ini berada di puncak bukit kekuasaan, didukung oleh kekuatan eks-oposisi dan koalisi. Dengan kekuatan itu, ia tidak butuh perpecahan. Ia butuh figur-figur pemersatu, proaktif, dan minim kontroversi. Tidak mengherankan jika Prabowo kerap mengutip adagium: “Seribu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak.”

Dalam konteks ini, gaya komunikasi pemerintahannya harus selaras dengan positioning tersebut. Menteri-menteri yang dipilih pun harus mampu menjaga stabilitas dan menghindari konflik publik. Sosok yang gemar menciptakan kegaduhan justru berseberangan dengan arah strategi Prabowo.

Menjaga Posisi, Menjaga Stabilitas

Keunikan positioning Prabowo berdampak langsung pada tingkat kepuasan publik, yang menurut survei mencapai 80 persen. Ia berhasil menjaga keseimbangan—tidak hanya mempertahankan kekuatan dari era Jokowi, tapi juga menarik simpati dari kelompok yang sebelumnya kritis.

Menurut teori Five Forces dari Michael Porter, apabila positioning tidak dijaga, maka akan terbuka peluang bagi ancaman baru (new entrants) atau produk substitusi (substitute products). Oleh karena itu, menjaga positioning bukan sekadar strategi komunikasi, tapi kebutuhan eksistensial kekuasaan.

Prabowo kini ibarat jenderal yang sudah menempati posisi di atas bukit—tempat strategis yang memberikan pandangan luas terhadap potensi ancaman, baik dari dalam maupun luar.

Pertanyaannya kini bukan siapa yang melawannya, tapi apakah ia mampu mempertahankan posisi strategis tersebut hingga tuntas masa baktinya?  (RED.A)