Kediri, tjahayatimoer.net – Kasus gangguan penglihatan dan pendengaran pada anak usia sekolah dasar di Kota Kediri menunjukkan tren peningkatan. Sepanjang 2024, tercatat sebanyak 2.272 pelajar SD mengalami gangguan refraksi atau penglihatan kabur, serta sejumlah lainnya menderita gangguan pendengaran akibat serumen (kotoran telinga yang menumpuk).
“Gangguan pada indra penglihatan dan pendengaran ini sangat berpengaruh terhadap proses belajar anak. Jika tidak ditangani, mereka akan kesulitan menyerap pelajaran di sekolah,” ujar Wali Kota Kediri, Vinanda Prameswari, saat menghadiri kegiatan deteksi dini di halaman Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Kediri, Selasa (23/7).
Kegiatan deteksi dini tersebut diikuti oleh 362 pelajar SD dan digelar bertepatan dengan peringatan Hari Anak Nasional. Vinanda menekankan pentingnya pemeriksaan kesehatan sejak dini, mengingat banyak kasus gangguan yang tidak disadari oleh orang tua maupun guru.
“Banyak orang tua tidak menyadari anaknya mengalami gangguan pendengaran atau penglihatan. Kadang malah mengira anak malas belajar, padahal sebenarnya ada gangguan di indra mereka,” jelasnya.
Kegiatan pemeriksaan diawali dengan pengukuran tinggi badan, dilanjutkan dengan tes penglihatan dan pemeriksaan telinga oleh tenaga medis. Kepala Dinas Kesehatan Kota Kediri, dr. Muhammad Fajri Mubasysyir, menyampaikan bahwa deteksi dini ini sekaligus menjadi upaya intervensi awal.
“Jika ditemukan masalah, langsung kami tangani. Bila perlu terapi lanjutan, kami rujuk ke rumah sakit,” terang Fajri.
Menurutnya, faktor gaya hidup, terutama penggunaan gawai yang berlebihan, menjadi salah satu penyebab utama gangguan tersebut. Oleh karena itu, Dinkes mendorong agar penggunaan gadget pada anak dibatasi.
“Ke depan, kami akan melakukan skrining menyeluruh bagi seluruh siswa baru di Kota Kediri,” imbuh Fajri.
Untuk gangguan pendengaran, Fajri menyebut mayoritas disebabkan oleh serumen. Ia mengingatkan pentingnya pemahaman orang tua tentang cara membersihkan telinga yang benar, karena penggunaan cotton bud justru bisa memperparah kondisi.
Sementara itu, dr. Wahyu Endah Prabawati, Sp.M, dokter spesialis mata yang turut terlibat dalam kegiatan ini, menyebutkan bahwa gangguan refraksi seperti miopi dan silinder merupakan kasus terbanyak yang dialami anak-anak.
“Anak-anak saat ini dalam masa pertumbuhan, dan penggunaan gadget sangat mempengaruhi perkembangan mata. Hal ini menjadi penyebab utama meningkatnya kasus mata minus pada usia sekolah,” jelasnya.
Selama tahun 2024, Wahyu mencatat telah menangani 188 pasien anak dengan myopia, meningkat sekitar 9 persen dibanding tahun sebelumnya.
Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara orang tua, guru, dan tenaga kesehatan untuk mendeteksi gejala sejak awal dan memberikan intervensi berupa kacamata atau terapi lanjutan.
“Jika ditangani sejak awal, gangguan ini bisa diminimalkan dampaknya terhadap prestasi belajar anak,” pungkas Wahyu. (RED.A)
0 Komentar