Kediri, tjahayatimoer.net – Kemudahan prosedur meminjam di aplikasi pinjaman online (pinjol) kerap membuat masyarakat tergoda. Namun, di balik proses yang cepat dan mudah, banyak cerita kelam yang menanti. Salah satunya, tragedi yang menimpa keluarga Danang, warga Desa Manggis, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri.
Niat awalnya sederhana: ingin membangun rumah di atas tanah milik orang tua. Namun, karena keterbatasan ekonomi, Danang memulai dengan meminjam Rp 5 juta dari koperasi harian atau yang akrab disebut bank titil. Sebagai buruh tani, penghasilannya tak cukup untuk mencicil utang.
Utang demi utang pun menumpuk, digali dari berbagai koperasi untuk menutupi kewajiban sebelumnya. Situasi semakin memburuk ketika Danang beralih ke pinjol.
“Caranya mudah, jadi suami saya kepincut,” ujar Minatun (29), istri Danang yang kini ikut ditahan dan menunggu persidangan di Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri.
Nama-nama seperti Singa, Amanah, Lumbung Dana, Kopi Susu, dan Rupiah Kita menjadi aplikasi yang kerap digunakan Danang. Meski meminjam Rp 1 juta, dana yang diterima kerap hanya setengahnya karena potongan biaya administrasi. Parahnya, utang yang harus dikembalikan bisa mencapai Rp 1,5 juta. Denda keterlambatan bahkan bisa mencapai Rp 200 ribu per hari.
Saat tak mampu membayar, tekanan datang dari para penagih. Teror dilakukan melalui pesan di ponsel disertai ancaman menyebar data dan foto pribadi ke media sosial.
Frustrasi akibat tekanan ekonomi dan psikologis, Danang nekat mengakhiri hidup. Ironisnya, ia mengajak serta keluarganya. Aksi tersebut gagal menyeluruh: Danang, istri, dan satu anaknya berhasil diselamatkan. Namun, anak bungsu mereka meninggal dunia.
Kini, Danang dan Minatun harus menghadapi persidangan atas perbuatan tersebut, sementara anak sulung mereka menanggung trauma mendalam.
Mahasiswa dan Gaya Hidup Konsumtif
Lain cerita dengan Bunga (nama samaran), mahasiswi di salah satu kampus swasta di Kediri. Awalnya ia menggunakan pinjol untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT). Namun, pinjol justru membuatnya ketagihan.
“Pernah buat beli iPhone, jajan, beli baju juga,” ungkapnya.
Bagi Bunga, selama tidak menggunakan aplikasi ilegal, pinjol dianggap aman. Ia mengaku hanya sesekali terlambat membayar, namun hanya mendapat teror melalui ponsel.
Pinjol sebagai Ladang Penipuan
Berbeda dari Bunga dan Danang, Bram (nama samaran) malah memanfaatkan celah dalam sistem pinjol legal. Mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Kediri ini sengaja mengajukan pinjaman dalam jumlah besar dari banyak aplikasi, lalu tidak membayar.
“Kalau telat, paling ditagih lewat HP. Tinggal blokir saja,” katanya enteng.
Bram mengaku menyusun strategi untuk menghindari sistem blacklist antar aplikasi dengan mendaftar akun pinjol lebih dulu sebelum meminjam. Ia menyasar aplikasi legal karena cenderung menagih dengan pendekatan sopan. Sebaliknya, ia menghindari aplikasi ilegal karena penagihannya dinilai brutal.
“Kalau aplikasi bajakan biasanya ngawur nagihnya. Kalau legal, biasanya cuma pakai template,” ujarnya.
Refleksi
Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana pinjol, yang awalnya menjadi solusi finansial cepat, bisa berubah menjadi jerat mematikan atau alat eksploitasi. Pemerintah, masyarakat, dan platform penyedia layanan harus lebih waspada dan bertanggung jawab dalam menyikapi fenomena ini. (red.a)
0 Komentar