KEDIRI,  tjahayatimoer.net – Dalam dinamika penyelenggaraan pemerintahan baik di pusat maupun daerah, potensi munculnya sengketa antara masyarakat dan pemerintah menjadi hal yang tak terhindarkan. Salah satu bentuk yang kerap memicu konflik adalah penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan Tindakan Administrasi Pemerintahan oleh pejabat negara yang dinilai merugikan masyarakat.

KTUN sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan merupakan keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan dalam lingkup tugasnya. Di sisi lain, tindakan konkret pejabat dalam penyelenggaraan pemerintahan juga dapat menimbulkan sengketa, terutama ketika masyarakat merasa dirugikan secara langsung oleh keputusan tersebut.

Kondisi ini menjadi akar dari lahirnya banyak gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa tidak sedikit pejabat yang enggan atau bahkan menolak melaksanakan putusan pengadilan tersebut, meskipun telah berkekuatan hukum tetap.

Tingkat Eksekusi Putusan PTUN Rendah, Cerminan Ketidakberdayaan Lembaga Peradilan

Data empiris menunjukkan kondisi yang cukup memprihatinkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Irfan Fachruddin di wilayah PTUN Bandung pada 2004, hanya 32% putusan yang benar-benar dilaksanakan. Angka ini bahkan memburuk di wilayah hukum Medan, di mana penelitian oleh Supandi tahun 2005 mencatat 70% pejabat tidak patuh terhadap putusan PTUN.

Lima belas tahun kemudian, laporan tahun 2020 hasil kolaborasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawasan Mahkamah Agung, dan BPKP mengungkap bahwa rata-rata keberhasilan eksekusi putusan PTUN secara nasional hanya sebesar 34,92%. Angka ini tidak hanya menunjukkan lemahnya efektivitas eksekusi, tetapi juga menjadi cerminan ketidakberdayaan lembaga peradilan menghadapi resistensi dari para pejabat yang kalah dalam sengketa.

“Ketika hukum tidak ditegakkan oleh pemerintah itu sendiri, bagaimana masyarakat bisa percaya pada keadilan? Ini menjadi tantangan serius,” ujar seorang praktisi hukum administrasi di Kediri.

Tiga Tipe Pelaksanaan Putusan dan Permasalahan yang Menyertainya

Dalam praktiknya, terdapat tiga bentuk pelaksanaan putusan PTUN:

  1. Tergugat melaksanakan putusan secara sukarela, namun seringkali tidak dilaporkan ke pengadilan sehingga tak terpantau efektivitasnya;

  2. Tergugat tidak dapat melaksanakan putusan karena perubahan regulasi atau situasi hukum yang terjadi setelah gugatan berjalan;

  3. Tergugat tidak mau melaksanakan putusan, yang menjadi masalah utama dalam dunia peradilan administrasi saat ini.

Pada poin terakhir, pengadilan nyaris tidak memiliki daya paksa. Tidak ada ancaman sanksi administratif, tidak ada mekanisme eksekusi yang kuat, bahkan publikasi ke media massa pun tidak menjamin kepatuhan pejabat.

Instrumen Pemaksa Belum Ada, PTUN Terjebak dalam Ketidakberdayaan

Permasalahan pelik lainnya terletak pada tidaknya diberlakukannya peraturan pelaksana Pasal 116 ayat (7) UU Peradilan TUN, yang seharusnya menjadi dasar penjatuhan sanksi bagi pejabat yang tidak patuh terhadap putusan. Akibatnya, Ketua Pengadilan hanya dapat mengeluarkan penetapan bahwa keputusan yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum lagi—tanpa konsekuensi apa pun bagi tergugat.

“Bayangkan saja, putusan sudah inkracht, tapi tetap diabaikan. Di mana letak wibawa hukum kita?” tegas seorang akademisi hukum administrasi dari Universitas di Jawa Timur.

Perlu Kajian Mendalam untuk Perkuat Kewenangan Eksekusi PTUN

Kondisi ini memperlihatkan bahwa sistem eksekusi dalam Peradilan Tata Usaha Negara tengah menghadapi krisis kredibilitas. Tanpa upaya paksa yang tegas, pelaksanaan putusan hanyalah formalitas semu. Pemerintah perlu segera mengevaluasi regulasi, termasuk merumuskan mekanisme pemaksa yang efektif, agar putusan PTUN tidak hanya menjadi hiasan di atas kertas.

Jika tidak ada langkah konkret dalam waktu dekat, dikhawatirkan masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan pada lembaga peradilan dan proses hukum itu sendiri. Dalam negara hukum, pelaksanaan putusan adalah bukti nyata bahwa hukum tidak hanya menjadi alat legitimasi, tetapi juga instrumen keadilan yang berfungsi untuk melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan kekuasaan.(red.al)