KEDIRI,  tjahayatimoer.net  – Isu kesetaraan gender tak henti menjadi topik hangat dalam dinamika sosial saat ini. Namun, perjuangan menuju kesetaraan seringkali terhambat oleh ketimpangan dalam pemahaman mendasar: menuntut hak tanpa disertai kesiapan menerima tanggung jawab yang setara.

Fenomena ini bukan semata terjadi pada satu jenis kelamin saja, melainkan menyentuh semua pihak yang terjebak dalam warisan budaya patriarki. Sistem sosial ini telah lama membentuk persepsi bahwa peran manusia ditentukan oleh jenis kelamin, bukan oleh kompetensi atau pilihan hidup.

Patriarki: Warisan yang Membatasi Peran
Stereotip seperti “laki-laki harus menjadi tulang punggung keluarga” atau “perempuan wajib mengurus rumah” terus tertanam kuat di masyarakat. Tanpa sadar, banyak orang akhirnya memilih peran bukan karena potensi dan keinginannya, tetapi karena takut menyalahi norma yang sudah mengakar.

Padahal, kesetaraan bukan hanya soal akses yang sama terhadap hak, tapi juga kesiapan berbagi beban dan tanggung jawab. Ketika seseorang menginginkan hak yang sebelumnya tidak dimiliki kelompoknya, maka ia pun harus bersedia menjalankan tanggung jawab yang menyertainya.

Ketidakseimbangan dalam Praktik Sehari-hari
Ketimpangan ini kerap terlihat dalam lingkup rumah tangga maupun dunia kerja. Contohnya, pembagian keuangan yang ingin dibuat 50:50 dalam rumah tangga, tapi masih ada ekspektasi bahwa laki-laki harus menangani semua pekerjaan berat seperti memperbaiki peralatan atau kendaraan.

Sebaliknya, masih banyak perempuan yang secara otomatis diberi tanggung jawab penuh atas urusan domestik, sementara pasangannya tidak dilibatkan dalam pengasuhan anak atau tugas rumah tangga lainnya.

Di ranah profesional, perempuan menuntut kesetaraan dalam karier, namun sebagian enggan menerima penugasan lembur atau tanggung jawab proyek besar dengan alasan bukan bagiannya. Sementara itu, laki-laki yang ingin terlibat lebih dalam pengasuhan anak, sering kali tidak diberi ruang untuk mengurangi jam kerja atau dilabeli tidak maskulin.

Langkah Menuju Keadilan Gender yang Sebenarnya
Menurut Zulfiana Ismaturrohmah, mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya dari Jurusan Hukum Keluarga Islam, solusi utama terletak pada membangun kesadaran bersama akan pentingnya timbal balik dalam kesetaraan.

"Jika perempuan ingin ruang untuk memimpin, ia juga harus siap menerima tekanan dan tanggung jawab dari kepemimpinan itu. Begitu pula jika laki-laki ingin lebih bebas mengekspresikan perasaannya, perempuan juga harus berhenti menganggap itu sebagai tanda kelemahan," jelasnya.

Pembagian peran sebaiknya didasarkan pada keahlian dan minat masing-masing individu, bukan semata-mata gender. Misalnya, siapa yang lebih teliti dalam mengelola keuangan, atau siapa yang lebih cekatan mengasuh anak.

Kesadaran pribadi juga penting. Setiap kali menuntut kesetaraan, harus ada pertanyaan dalam diri: “Apakah saya juga siap menerima beban kerja atau tanggung jawab yang sama?”

Peran Pendidikan dalam Membangun Kesetaraan
Zulfiana juga menekankan pentingnya pendidikan sejak dini. Anak-anak perlu diajarkan bahwa tidak ada pekerjaan yang hanya layak dilakukan oleh laki-laki atau perempuan saja. Anak laki-laki perlu dibiasakan mengurus rumah, dan anak perempuan didorong untuk tampil berani dan memimpin.

Dengan langkah-langkah tersebut, kesetaraan tidak lagi hanya menjadi wacana atau simbol, melainkan benar-benar tercermin dalam tindakan dan struktur sosial yang adil bagi semua pihak.

Kesetaraan sejati tidak sekadar memperjuangkan hak pribadi, tetapi menciptakan sistem sosial yang menghargai setiap individu tanpa memandang gender. Sebab hanya dengan demikian, keadilan dapat benar-benar terwujud di tengah masyarakat. (red.al)