Kediri, tjahayatimoer.net– Kemajuan teknologi tidak pernah berhenti. Dalam lima tahun terakhir, kecerdasan buatan (AI) melesat lebih cepat daripada yang bisa dibayangkan banyak orang. Salah satu wujudnya adalah ChatGPT, chatbot berbasis AI buatan OpenAI. Ia mampu menjawab pertanyaan, menulis artikel, bahkan menciptakan puisi. Serba bisa. Serba cepat.
Namun, justru karena terlalu “serba bisa”, muncul pertanyaan penting: apakah kehadiran ChatGPT dan teknologi sejenis melemahkan kemampuan manusia dalam berpikir kritis?
Pertanyaan ini tidak bisa dijawab secara hitam putih. Di satu sisi, ChatGPT menawarkan efisiensi luar biasa. Mahasiswa bisa menyusun kerangka esai dalam hitungan menit. Pegawai dapat membuat laporan atau proposal hanya dengan satu perintah. Bahkan siswa sekolah dasar bisa mendapat ringkasan pelajaran tanpa perlu membaca buku tebal.
Namun, justru kemudahan inilah yang bisa menjadi bumerang. Ketika manusia terlalu mengandalkan jawaban instan dari mesin, kebiasaan untuk bertanya, meragukan, dan menganalisis mulai tergerus. Proses bernalar yang menjadi inti dari berpikir kritis perlahan memudar.
Dan ini bukan sekadar dugaan. Sebuah studi dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) Media Lab yang dirilis pada Kamis (19/6/2025) melalui laman TIME, mengungkap temuan mencemaskan. Penelitian melibatkan 54 partisipan berusia 18 hingga 39 tahun yang diminta menulis esai ala ujian SAT dengan tiga metode: menggunakan ChatGPT, menggunakan Google, dan menulis tanpa bantuan teknologi. Aktivitas otak mereka dipantau menggunakan EEG (elektroensefalogram) di 32 area otak.
Hasilnya? Kelompok pengguna ChatGPT menunjukkan tingkat keterlibatan otak paling rendah. Mereka juga mencatat performa paling buruk, baik secara linguistik, perilaku, maupun neurologis. Studi itu menyimpulkan bahwa penggunaan AI dalam proses menulis bisa melemahkan kemampuan berpikir kritis, terutama pada generasi muda yang masih membangun struktur berpikirnya.
Di dunia pendidikan, fenomena ini sudah mulai terasa. Banyak guru mengeluhkan bahwa tugas-tugas siswa kini terlihat rapi dan sempurna—tapi seragam dan tanpa karakter. Ketika ditanya prosesnya, jawaban mereka sederhana: “Saya pakai ChatGPT.”
Padahal, berpikir kritis bukan soal hasil, tapi soal proses. Proses mengamati, menganalisis, menyimpulkan, bahkan mempertanyakan kesimpulan itu sendiri. Tanpa proses, pengetahuan menjadi dangkal—seperti pohon berakar rapuh yang mudah roboh saat diterpa angin.
Apakah ini berarti kita harus menolak teknologi seperti ChatGPT? Tentu tidak. Sama seperti kalkulator tidak membuat manusia bodoh dalam matematika, ChatGPT juga tidak otomatis membuat kita kehilangan daya pikir. Yang jadi soal adalah bagaimana kita menggunakannya.
Jika ChatGPT digunakan sebagai alat bantu, bukan pengganti, ia bisa menjadi kawan belajar yang luar biasa. Ia bisa membantu menyusun ide, memberi referensi awal, dan memperluas perspektif. Tapi tetap, tanggung jawab berpikir ada pada manusia.
Karena pada akhirnya, manusia bukan hanya makhluk yang tahu, tapi makhluk yang memikirkan apa yang ia tahu dan mempertanyakan apa yang belum ia pahami. Bila proses berpikir itu kita serahkan pada mesin, maka bukan tidak mungkin, kemampuan berpikir kritis akan hilang pelan-pelan—bukan karena dirampas, tapi karena kita sendiri yang menyerahkannya. (red:a)
0 تعليقات