MALANG, tjahayatimoer.net –Dugaan praktik perdagangan orang kembali mencuat dalam sidang lanjutan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang menyeret dua orang pengelola PT Nusa Sinar Perkasa (NSP) Cabang Malang, yaitu Hermin Ningsih Rahayu dan Dian Permana alias Ade. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Kelas IA Malang, Rabu (28/5/2025), tiga saksi korban hadir memberikan kesaksian yang menguatkan dakwaan jaksa.
Ketiga saksi tersebut adalah Suryani, Hanifah, dan Widya. Mereka merupakan calon pekerja migran yang sempat menjalani pelatihan di bawah naungan PT NSP. Dalam persidangan, ketiganya membeberkan perlakuan tidak layak, mulai dari dugaan eksploitasi tenaga kerja, hingga kekerasan verbal dan fisik yang mereka alami selama berada dalam pengawasan Hermin dan Dian.
"Saya tidak menyangka pengalaman saya akan berujung seperti ini. Kami direkrut dengan iming-iming kerja di luar negeri, tapi kenyataan di lapangan berbeda," ucap Hanifah dengan suara bergetar di ruang sidang.
Menurut keterangan jaksa penuntut umum Moh Heriyanto, kesaksian para korban sejalan dengan isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan menguatkan unsur pidana dalam dakwaan terhadap kedua terdakwa.
“Seluruh keterangan saksi mendukung adanya dugaan TPPO dan pelanggaran dalam proses perekrutan calon pekerja migran oleh PT NSP. Aktivitas pelatihan dilakukan di luar prosedur resmi dan tanpa izin sebagai P3MI (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia),” jelas Heriyanto.
Selain itu, Heriyanto menyebutkan bahwa sidang berikutnya akan menghadirkan beberapa saksi tambahan untuk mendalami dugaan pelanggaran lainnya, termasuk potensi eksploitasi ekonomi dan psikis terhadap korban.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa, Mohamad Zainul Arifin, membantah seluruh tuduhan tersebut. Ia menegaskan bahwa pelatihan yang dilakukan bersifat sukarela dan justru memberikan keterampilan kepada calon pekerja migran.
“Latihan yang dijalani para CPMI (Calon Pekerja Migran Indonesia), termasuk pelatihan merawat anjing, sesuai dengan penempatan mereka di Hong Kong dan dijalani tanpa paksaan. Ini adalah bagian dari persiapan kerja, bukan eksploitasi,” tegas Zainul.
Ia juga mempertanyakan validitas tudingan kekerasan karena tidak disertai bukti visum atau laporan psikologis dari lembaga medis resmi.
“Tanpa bukti visum atau keterangan ahli, pengakuan tersebut belum memenuhi unsur pembuktian hukum. Kami akan menguraikan semua itu di sidang pembelaan,” sambungnya.
Zainul bahkan menambahkan bahwa beberapa saksi pelapor hanya mendengar cerita dari pihak lain, bukan menyaksikan langsung kejadian dugaan kekerasan atau pelanggaran hukum.
“Kasus ini menurut kami lebih bersifat administratif karena terkait perizinan dan tata kelola perekrutan, bukan murni ranah pidana,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, kasus ini bermula dari laporan sejumlah calon pekerja migran yang merasa diperlakukan tidak semestinya oleh pihak PT NSP. Jaksa penuntut umum mendakwa Hermin dan Dian dengan tujuh pasal, tiga di antaranya berasal dari UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, dan empat pasal lainnya dari UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Sidang akan kembali digelar pekan depan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi tambahan, termasuk dari pihak instansi terkait untuk mengklarifikasi status legalitas PT NSP sebagai agen penyalur.
0 Komentar