KEDIRI,  tjahayatimoer.net – Menjelang pelaksanaan puncak ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna), jemaah haji asal Kabupaten Kediri terus mempersiapkan fisik dan mental. Namun, suasana haru dan semangat beribadah itu mulai diwarnai kekhawatiran. Pasalnya, beredar edaran resmi dari otoritas Arab Saudi yang menyatakan bahwa keberangkatan jemaah ke Arafah akan dilakukan berdasarkan syarikah—tanpa memperhatikan kelompok rombongan seperti yang disusun sejak dari tanah air.

Situasi ini menimbulkan keresahan di kalangan jemaah lansia dan risiko tinggi (risti), terutama yang khawatir berangkat tanpa didampingi pembimbing ibadah. Salah satunya adalah Arifin, jemaah asal Desa Puhsarang, Kecamatan Semen, yang mengaku waswas.

“Kami betul-betul khawatir nanti saat wukuf di Arafah tidak ada yang membimbing kami. Padahal itu adalah momen puncak ibadah,” ujar Arifin, Kamis (29/5).

Kondisi semakin tidak menentu dengan terpisahnya penginapan jemaah di beberapa hotel berbeda. Salah satunya dialami Trubus, jemaah asal Badas, yang kehilangan kontak dengan istrinya karena ditempatkan di hotel berbeda.

“Tolong carikan istri saya, Pak. Ini saya di hotel 1005, saya tidak tahu istri saya diturunkan di mana,” keluhnya.

Selain soal penempatan, banyak jemaah juga belum menerima koper mereka, karena sistem pengiriman barang dilakukan secara acak ke sejumlah hotel. Hal ini membuat jemaah harus mencari koper masing-masing secara mandiri, sesuatu yang cukup melelahkan menjelang Armuzna.

Di tengah segala ketidakpastian itu, Direktur Multazam Alhadi Tour and Travel, Syamsul Hadi yang akrab disapa Abah Syamsul, terus melakukan pembinaan spiritual. Ia memimpin doa bersama di hotel tempat jemaah menginap sebagai bentuk persiapan mental dan spiritual menjelang wukuf.

“Doa bersama ini untuk menguatkan hati dan pikiran jemaah. Wukuf di Arafah adalah momen sakral, di mana semua doa-doa dikabulkan oleh Allah SWT,” terang Abah Syamsul.

Abah Syamsul juga menekankan pentingnya menjaga kesehatan menjelang puncak ibadah. Ia meminta jemaah cukup istirahat, memperbanyak zikir, dan menjauhi larangan-larangan ihram selama berada di Arafah, Muzdalifah, dan Mina.

“Kami akan terus mendampingi jemaah, baik secara langsung maupun dengan koordinasi antarpembimbing. Setiap langkah akan kami pantau, agar jemaah tidak merasa sendirian,” tegasnya.

Meskipun penuh tantangan, para jemaah tetap berharap bisa menjalani prosesi puncak haji dengan lancar dan khusyuk. Namun, fakta bahwa manifest keberangkatan hanya berdasarkan syarikah—bukan rombongan yang dibentuk sejak awal—dinilai banyak pihak berpotensi mengganggu kelancaran ibadah, terutama bagi jemaah lansia yang sangat bergantung pada arahan pembimbing.

“Kami harap ada penyesuaian dari otoritas penyelenggara haji, agar jemaah tetap bisa bersama pembimbingnya saat puncak ibadah. Karena pembimbing bukan hanya urusan teknis, tapi juga penguat mental dan spiritual,” ujar salah satu petugas haji.

Dalam suasana haru, semangat dan doa tetap mengalir. Jemaah dari Kediri pun terus berharap agar dapat menjalani prosesi puncak haji dengan tenang, tertib, dan mendapat haji mabrur, meski di tengah tantangan sistem dan kebijakan baru dari otoritas Arab Saudi.(RED.AL)