Kediri, tjahayatimoer.net – Di tengah perkembangan pesat kawasan pemukiman Desa Bangi, Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri, terdapat sebuah lahan kecil yang mencuri perhatian. Di sudut pekarangan rumah warga, satu petak tanah berpagar bata rendah dengan batu dan papan nisan berdiri tanpa nama, dikenal warga sebagai “Kuburan Bayi.”
Meski tampak seperti makam, warga sekitar meyakini bahwa tempat itu bukanlah kuburan dalam arti sebenarnya.
“Itu bukan kuburan, itu punden. Cuma karena dikasih papan nisan sama warga, jadi kelihatannya seperti kuburan,” tutur Dikan Santoso (65), warga asli yang telah tinggal di kawasan tersebut sejak kecil.
Menurut Dikan, dahulu hanya ada sebongkah batu yang dianggap keramat. Seiring waktu, warga setempat memberikan papan nisan agar terlihat lebih ‘rapi’. Nama “Kuburan Bayi” muncul sebagai sebutan turun-temurun, bukan karena ditemukan jasad bayi, melainkan diyakini sebagai tempat petilasan dukun bayi pertama yang dipercaya membuka wilayah Desa Bangi. Namun, semua itu masih berupa kisah lisan tanpa bukti tertulis.
Siti (60), warga lainnya, juga menguatkan hal tersebut. “Orang-orang sini percaya itu tempat babat alas oleh dukun bayi dulu, bukan kuburan sebenarnya. Tapi ya disebutnya ‘kuburan bayi’ karena itu yang dikenal,” ujarnya.
Punden sebagai Warisan Tak Tertulis
Keberadaan punden seperti ini bukan hal asing di Desa Bangi. Menurut para tetua, ada beberapa punden lain di desa tersebut, termasuk yang terletak di dekat sumber mata air. Walaupun tidak tercatat secara administratif sebagai situs sejarah, tempat-tempat ini tetap dipelihara secara swadaya oleh warga sebagai bagian dari penghormatan terhadap leluhur.
“Yang merawat ya pemilik lahan atau warga yang peduli. Biasanya kalau bersih desa, tempat itu dikondangi. Kita doa bareng, bawa makanan, lalu makan bersama di situ,” jelas Siti, menggambarkan suasana kebersamaan dalam tradisi tersebut.
Acara kondangan ini menjadi lebih dari sekadar ritual. Ia menjembatani hubungan antarwarga, mempererat tali silaturahmi, dan menghidupkan kembali rasa kolektivitas yang mulai memudar di era modern.
Dulu Dianggap Angker, Kini Dikelilingi Rumah
Lokasi punden yang dulunya sepi dan dipenuhi kebun bambu, kini berubah drastis. Rumah-rumah berdiri rapat di kiri-kanannya, menandai perkembangan permukiman yang pesat. Namun, keberadaan “Kuburan Bayi” tetap tidak dilupakan, meski tak lagi dianggap angker.
“Dulu banyak yang takut bangun rumah dekat situ. Dibilangnya angker, barongan semua. Tapi sekarang malah orang-orang kadang gak sadar kalau di situ ada punden,” kenang Dikan, yang akrab disapa Mbah Breng.
Perubahan ini mencerminkan bagaimana masyarakat Desa Bangi semakin rasional dalam menyikapi warisan budaya dan kepercayaan lokal. Namun di sisi lain, cerita-cerita seperti “Kuburan Bayi” tetap bertahan sebagai narasi identitas lokal yang memperkaya sejarah desa.
Warisan Budaya Lokal yang Perlu Dicatat
Keberadaan “Kuburan Bayi” dan punden lain di Desa Bangi menjadi simbol penting dari jejak peradaban lokal yang selama ini bertahan lewat cerita rakyat. Meski belum tercatat secara resmi sebagai situs cagar budaya atau warisan sejarah, kisah-kisah seperti ini memiliki nilai antropologis dan historis yang tak ternilai.
Para tokoh masyarakat berharap ada perhatian lebih dari pemerintah desa maupun dinas terkait agar situs semacam ini dapat didokumentasikan dan dijaga, bukan hanya sebagai bagian dari kepercayaan lokal, tapi juga sebagai sumber pengetahuan dan identitas budaya masyarakat Desa Bangi.(RED.AL)
0 Komentar